Senin, 20 November 2017

Jangan Remehkan Aku

Oleh Azizah Noor Qolam


            Ponsel di saku celana, tiba-tiba bergetar. Aku merogohnya, kemudian melihat siapa yang menghubungiku. Ternyata ada pesan bbm masuk. Ada undangan dari seorang yang tidak dikenal.
“Ona? Siapa? Ah biarin aja! Mungkin orang iseng,” Aku tak menghiraukannya.
Tak selang beberapa lama, ada pesan masuk. Dari Ibu Kiki.
Lis, tidak apa-apa, kalau saya menanyakan sesuatu yang pribadi?
Seketika kakiku gemetar. Bahkan jantung pun semakin berdetak dengan cepat. Ada perasaan aneh yang menyelinap masuk ke dalam relung hati. Ada apa ini sebenarnya? Aku bertanya-tanya dalam hati. Jariku mulai mengetik pesan balasan.
Oh, mau tanya masalah apa, Bu?
Send.
Ini ada yang mau kenalan sama kamu. Boleh? Bu Kiki membalas pesan bbmku.
Boleh? Siapa, Bu?
Itu saudaranya  Eva. Lis, boleh add fb Ona Twins.
Belum sempat aku membalas pesan. Tiba-tiba Eva menelpon melalui bbm. Kuangkat. Dari serbang sana terdengar suara cerewetnya. Tanpa basa-basi, dia menyururuhku untuk menerima undangan Ona di bbm. Setelah itu dia menutup telponnya.
Keadaan ini membuat aku bingung sekaligus heran. Ada apa ini sebenarnya? Apa yang sedang mereka rencanakan. Apakah ini suatu kebetulan? Dari kemarin Eva selalu menghubungiku. Entah itu nelpon, ngirim pesan lewat bbm, atau inbox di fb. Dan sekarang Eva dan Bu Kiki begitu kompak menjodohkan aku dengan pria bernama Ona.
Karena pikiran diliputi berbagai tanda tanya. Aku lupa tidak membalas bbm Bu Kiki. Lalu menerima undangan Ona. Setelah berteman. Dia mengirim pesan padaku. Meski belum kenal.  Perkenalan aku dengan pria itu pun berlanjut.
***
Aku menatap diriku di depan cermin. Secepat inikah Tuhan mengirimkan jodoh untukku? Apa ini merupakan ujian dari-Nya? Untuk membuktikan sebesar apa cintaku pada Sang Pencipta Jagad Raya. Tak sangka pria itu memiliki niatan mulia. Dia ingin membina rumah tangga, membangun sebuah keluarga dalam ikatan yang di ridhoi oleh Allah. Seketika berkelebatlah bayangan-bayangan menyesakkan dada. Bagaimana harus kujelaskan semua rasa ini? Sebuah rasa trauma dan takut akan kegagalan yang akan berulang kembali. Sudah cukup aku merasakan sakit dan menderita selama ini. Dan kini aku ingin bahagia dan tersenyum.
Namun ketika aku ingin memulainya kembali. Lagi-lagi kenangan itu menyeretku pada luka yang tidak bertepi. Sedalam apapun memori itu dikubur, tetap saja suatu saat orang-orang dari masa lalu akan bermunculan kembali, sebagai ujian hidup. Mungkin saat itu aku tak bisa menghindar. Maka dari itu, keberanian harus mulai dipupuk dari sekarang.
Awal perkenalan, rasa itu memang ada. Jujur, aku bahagia ada yang datang mengetuk pintu rumah dengan niatan mulia. Yang menganggu pikiran saat ini, apakah setelah dia mengetahui masa laluku? Dia masih mau mengenalku. Aku tak mungkin menyembunyikan semua ini darinya. Ia berhak tau kenyataan sebenarnya. Bahwa diriku pernah melakukan sebuah kesalahan fatal.
Air mata mengalir deras, tak bisa dibendung. Menyesali semua kebodohan dan kealfaan saat itu. Aku harus mengatakan kebenaran ini. Sebelum semua terlambat dan menghancurkan sebuah kepercayaan. Aku menghapus air mata dengan telapak tangan. Perlahan dua bola mataku menatap ke sekitar kasur. Mencari ponsel.
Ponsel cantik ber-casing warna ungu, tergeletak di dekat bantal. Lalu aku mengambilnya. Langsung membuka aplikasi bbm. Ternyata ada beberapa pesan bbm masuk. Salah satunya pesan dari Ona.
Assalamu’alaikum Neng, maaf baru bisa ngasih kabar! Kebetulan tadi Kakak Ke Bandung dulu.
Aku tersenyum membaca pesan dari Ona. Neng, itulah panggilan yang dia berikan padaku. Karena usia diantara kami hanya terpaut delapan paut. Ia lebih tua dariku. Mudah-mudahan ini adalah waktu terbaik untuk menjelaskan semuanya. Dengan jari gemetar, aku mulai mengetik pesan balasan.
Wa’alaikum salam, oh...nggak apa-apa, Kak. Hmmm, bolehkah Neng menanyakan sesuatu?”
Send.
Tring. Pesan bbm masuk.
Mau tanya apa?
Apa yang Kakak tau tentang diriku?
Dadaku mulai sesak. Ya Allah, semoga Kau memilihkan jalan terbaik untukku.
***
Sebuah ketukan terdengar, aku langsung berlari ke toko. Di sana sudah ada dua orang pembeli. Bibirku menyunggingkan senyum termanis.
“Mau beli apa?” tanyaku.
“Neng Ica lagi di sini?” tanya salah satu pembeli yang aku kenal. Dia bernama Nurhasanah.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun.
“Sudah punya?” tanyanya lagi.
“Belum.” Ujarku singkat. Sambil menyembunyikan raut wajah sedih.
Kata-kata itu bagai pisau mengiris-ngiris hati. Sakit, perih, dan pedih sekali terasa. Mereka tak pernah tahu apa yang sudah terjadi padaku. Sebagian orang sudah mengetahui kisah targis hidupku. Terkadang kata ejekan dan picingan mata sinis terus menerjang, menambah luka di dalam lubuk hati.
 “Ih, cantik-cantik kok kayak gitu,”
“Nggak nyangka, ya! Dia kayak gitu,”
            Suara-suara ejekan itu, terus masuk ke gendang telinga. Aku hanya bisa mengelus dada. Sesak sudah pasti. Aneh, seenaknya saja mereka mengujami caci maki padaku. Seolah mereka tahu segala apa yang aku alami. Bukankah manusia adalah tempat segala dosa? Tapi kenapa mereka menghujatku terus menerus? Bagai malaikat yang tak pernah melakukan dosa sama sekali. Dengan sekuat tenaga, aku menulikan telinga.
Jungkir balik terus berusaha untuk bangkit dan melupakan semua masa-masa pahit itu. Aku berhak untuk merasakan kebahagiaan dan pantas untuk merasakan ketenangan. Allah tak pernah memilah dan memilih ummat-Nya. Pintu pengampunan-Nya selalu terbuka untuk siapa pun yang bertaubat dengan tulus atas dosa-dosa mereka selama ini. termasuk diriku. Setiap malam, sujud, doa, dan air mataku tak pernah absen.
Dia ..., hanya Dia yang selalu ada untukku. tak pernah meninggalkanku walaupun sedetikpun.  Maka tak salah jika Dia memiliki sifat berbeda dengan makhluknya.
Satu tahun ke belakang, kisah pahit itu di mulai. Kenyataan yang jauh dari bayanganku sama sekali. Belum sempat mengenyam manisnya hidup berumah tangga. Aku malah harus menelan pil pahit dengan berakhirnya hubungan itu. Sakit sudah pasti. Wanita mana di dunia ini yang ingin mengalami hal seperti ini. Aku rasa tidak ada. Apalagi biduk rumah tangga yang kujalani baru sepuluh bulan.
Aku mengugat cerai Dudi. Selama sepuluh bulan, kebohongan dan pengkhianatannya selama ini, terbongkar sudah. Lidah manis itu kini terasa pahit di telinga. Muak aku melihat wajah dengan guratan penuh kepedulian. Semua itu ternyata hanyalah topeng yang ia gunakan untuk menutupi semua kebenaran. Hampir saja aku kehilangan akal. Kalau saja Allah tidak ada di dalam hatiku. Kalau saja aku tidak ingat pada Sang Pencipta Hati. Mungkin akan menjadi orang tak waras alias gila.
Tidak sampai di situ kesalahannya, masih banyak hal-hal yang tak terduga. Hutangnya dimana-mana. Wanita mana yang kuat, baru pertama menikah, disuguhi dengan berbagai persoalan hidup seperti itu. Aku tak sanggup melawan kata hati yang bertolak belakang dengan tindakan.
Dan pengadilan pun memutuskan aku dan dia resmi berpisah pada bulan Februari 2015. Sungguh berat, menyandang status sebagai JANDA. Apalagi usiaku masih muda dan perjalanan hidupku masih panjang. Saat inilah ujian itu datang menghampiri. Ketika ada seorang pria mengetuk pintu berniat memperistriku. Kenyataan pahit itu pun harus terkuak.
***
“Kakak tau statusku sekarang,” aku mulai menceritakan semuanya pada Ona dan Eva,” aku sudah pernah menikah. Namun harus kandas di tengah jalan.”
“Berapa lama menikahnya?” tanyanya lagi, nada bicaranya terdengar terkejut.
“Sepuluh bulan,”jawabku singkat.
“Tapi kok kamu belum punya anak? Padahalkan sepuluh bulan. Kan wanita hamil itu sembilan bulan?”
Bagaimana aku bisa punya anak? Jika selama berumah tangga, hanya mendapatkan tekanan demi tekanan. Lagi pula aku selalu berdoa dalam setiap sujud pada-Nya, agar tak diberi keturunan. Tak ingin melahirkan anak darinya. Tak ingin pula anak yang terlahir dari rahimku menjadi seorang pendusta agama dan menipu banyak orang. Jelasku dalam hati.
Ona menatapku menanti jawabanku. Aku tak menjawab, hanya tersenyum getir. Ada sebuah goresan melukai ulu hati. Mungkin status ini yang membuat pria berpikir dua kali untuk mempersuntingku.
Aku sudah mengikhlaskan semua pada-Nya. Memang aku pernah melakukan sebuah kesalahan. Tapi takdir Allah pasti yang terbaik. Aku yakin di balik semua peristiwa ada sebuah rencana indah. Tak usah risau dan takut.
Pukul setengah dua siang, toko sudah tutup. Ibu menghampiri kami bertiga dan bergabung.
“Bu, sayang ya! Alis, rumah tangganya cuman sebentar,”Ujarnya memulai pembicaraan. Dilihat dari raut wajah, dia membutuhkan penjelasan dari ibu.
Aku menatap ibu, warna mukanya berubah sedih. Di sudut matanya berair. Hati ini perih. Ibu pasti menderita, ketika ada yang menanyakan tentang masalah kehidupan pernikahanku yang seumur jagung. Ah, andai waktu bisa diulang kembali. Pasti aku tak akan melakukan kesalahan itu. Maafkan aku ibu! Anakmu ini sudah membuat luka dalam hatimu.
“Ya, mungkin sudah takdir Alis seperti ini, Nak! Meski tidak mau, tapi semuanya harus terjadi juga. Manusia hanya bisa berencana. Tapi ketentuan ada di tangan-Nya. Iya kan?” jelas Ibu,“Asep dari mana?”
“Dari Tegal Panjang, Bu.”
“Kerja dimana?” tanya Ibu lagi.
“Kebetulan saya ada kontrak minggu ini selama delapan bulan di pelayaran. Saya cuman lulusan SMA, Bu.” Akunya menjelaskan pendidikan akhirnya.
“Mau lulusan sarjana ataupun SMA sama saja, yang penting kreatif. Kerja apapun nggak apa-apa, asal harta yang didapat halal.”
Obrolan pun berlanjut antara Ibuku dan Ona. Fakta yang aku dapat dari pertemuan ini, ternyata Ona itu kembar. Nama lengkapnya Antona, sedangkan adiknya Antoni. Dia memiliki satu kakak perempuan, sudah menikah. Dia dan saudara kembarnya sama-sama kerja sebagai TKI.
Tak terasa waktu terus bergulir dengan cepat sekali. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ona dan Eva pun pamit untuk pulang.
“Bu, kami ke sini untuk silaturahmi. Maaf sudah menganggu waktunya! Kami pamit pulang dulu,”Eva beranjak dari tempat duduknya. Begitu pun dengan Ona. Kemudian mereka berdua menyalami ibu, setelah itu aku.
***
Tuts-tuts keyboar laptop terus aku tekan. Waktu deadline perlombaan sudah semakin mepet. Naskah harus segera selesai malam ini. agar bisa diikutkan lomba. Sayang, otakku lagi mumet. Nggak bisa diajak kompromi. Skak mat. Tanganku mengacak-ngacak rambut, melepas semua kepenatan yang ada.
Tanganku menyentuh ponsel yang bergetar. Sengaja nada deringnya tidak dibunyikan. Agar aku bisa fokus pada penyelesaian naskah. Pesan bbm masuk dari Ona.
Neng, Kakak mau nelpon. Tapi pakai nomor ayah.
Oke.
Tak sampai satu detik dia sudah menelpon. Langsung aku mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum, Kak! Ada apa?” tanyaku.
“Wa’alaikum salam, gimana respon mama? Dan perasaan Neng sendiri bagaimana?” Ona balik bertanya.
“Mama sih  sudah sreg. Aku juga begitu. Emang kenapa Kak?” ada suatu kekhawatiran merasuki hatiku.
“Gini, Neng. Kakak sih sebenernya udah sreg. Dari pertama kita bbm-an juga. Nah pas ketemu semakin yakin.” Jelasnya terdengar hati-hati.
“Terus?” aku mulai penasaran.
“Sebenarnya, Kakak ke sana tanpa sepengetahuan Orang tua. Pas Kakak omongin niatan dan menceritakan tentangmu. Kakak kira akan diterima saja. Eh, ternyata mereka harus berunding dulu. Jadi, Kakak belum bisa mastiin lanjut atau tidak hubungan kita ini. Lagi pula, sebentar lagi Kakak harus pergi ke pelayaran selama delapan bulan. Keluarga kita pun belum saling mengenal. Mungkin lebih baik nunggu kakak pulang ke sini lagi.  Kamu nggak apa-apa kan?” nada bersalah itu keluar dari mulutnya.
Aku mengerti, mungkin karena statusku ini. Hingga orang tuanya harus menimbang-nimbang dulu. Ya, mana mungkin ada pria yang mau menerima wanita bekas orang. Luka itu terkuak kembali. Sakitnya sampai terasa ke ulu hati.
“Kamu kuatkan? Nggak apa-apa?” ia merasa khawatir karena dari tadi aku hanya diam.
Berusaha menahan segala rasa yang ada, agar tak terdengar gemetar,”Nggak kok, Kak! Tenang saja. Aku sudah biasa kok kayak gini.” Elakku. Padahal jujur, aku ingin sekali menangis. Dan itu memang tak bisa ditahan lagi. Air mata pun menetes berjatuhan membasahi pipi.
“Bukan karena statusmu, mereka berunding. Tapi berbagai banyak hal,” ujarnya.
Aku tahu dia bicara seperti itu, hanya untuk menghiburku.
“Aku kuat kok! Sekarang Kakak kerja aja dulu yang bener. Kalau kita jodoh, pasti Allah akan mempertemukan kita. Bagaimana pun caranya,”aku berusaha menghibur hati.
“Ya udah kalau begitu. Sudah dulu, ya! Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Dengan lemas aku meletakkan ponsel di sampingku. Oh Allah, kenapa hanya karena status ini, aku tak bisa merasakan kebahagiaan. Apa tidak ada pria yang mau padaku? Atau mungkin janda selalu dipandang sebelah mata. Namun ini semua sudah menjadi ketentuan-Mu. Aku tak bisa mengelak sama sekali.
Ikhlas. Ya, kata itu yang sedang aku pelajari saat ini. menerima semua yang terjadi dalam diriku. Hati ini pasti akan terasa ringan. Tanpa beban. Dan aku bisa menciptakan kebahagiaan dalam diriku sendiri.

Aku yakin, Allah  sudah menyiapkan sesuatu yang indah untukku. lebih baik aku menggunakan waktu untuk berkarya dan menambah kualitas diri. Agar mereka diluar sana, tidak meremehkan statusku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar