Oleh Azizah Noor Qolam
Sebelum
perjumpaan kita berlangsung. Aku selalu berharap, suatu saat nanti ada
seseorang yang meminangku dan bisa menerimaku apa adanya. Terutama dengan
statusku yang tak satu pun perempuan menginginkannya. Seperti halnya Rasulullah
SAW yang menerima Khadijah dengan tulus dan sepenuh hati.
Entah kebetulan atau tidak?
Atau mungkin ini semua sudah suratan takdir dari Yang Mahakuasa. Kau datang
ditemani tiga sahabatmu untuk menjalin sebuah perkenalan atau sering disebut
ta’arufan denganku, yang bertujuan untuk menikahiku. Antara percaya dan tidak
percaya. Kau benar-benar datang dan berdiri dihadapanku. Seseorang yang tak
pernah aku kenal sebelumnya. Seseorang yang asing untukku. Kala itu aku tidak
ingat akan doaku. Namun ketika aku menyadari kalau nama depanmu adalah Ahmad .
Seperti dalam sejarah bahwa Ahmad adalah sebutan untuk Nabi Muhammad SAW. Dari
sana aku merasakan, beta kuasa Allah itu besar. Dia benar-benar mendengarkan
doaku. Hingga kau datang kembali untuk meminangku. Padahal aku sudah
benar-benar pasrah saat itu. Pasrah menerima semua kenyataan yang akan terjadi.
Termasuk sebuah penolakan.
Dan Allah menunjukkan
keMahaagungan-Nya lagi, ternyata kau menerimaku dengan segala masa laluku yang
pahit. Begitu tulus dan ikhlasnya hatimu. Setelah itu aku terus berdoa
pada-Nya, jika Kau memang jodohku. Aku berharap semua proses yang akan kita
jalani ke depan dilancarkan.
Pertemuan demi pertemuan
terlaksana. Bukan tanpa hambatan, tapi pasti saja ada rintangan di depanmu. Namun
kau lalui dengan penuh keyakinan dan kesabaran. Hingga hari pernikahan pun
Allah masih mengujimu. Dengan macetnya perjalanan ke rumahku, karena ada banjir
yang terjadi. Bahkan kala itu pun aku menanti dengan pasrah. Jika ini akan
terjadi maka lancarkanlah. Jika tidak maka berilah aku dan keluargaku kekuatan.
Aku benar-benar menyerahkan semuanya pada Allah. Karena dia sang pengatur
segala sesuatu yang terbaik.
Setelah menantimu hampir 5
jam lebih. Akhirnya kau datang dengan menunggang kereta kencana. Karena bus
tidak bisa masuk ke gapura. Namun tak apa. Dengan hadirnya dirimu telah
melegakan hatiku. Kau tau, aku sangat bahagia memiliki suami sepertimu. Seorang
suami yang bisa menerima keadaanku dengan ikhlas. Meski sampai detik sekarang
pun rasa minder itu tetap ada dalam hatiku. Bagaimana jika teman-temanmu
bertanya tentangku? Apa kau tidak malu? Jika ada beberapa temanmu yang
sebelumnya mengenal aku? Atau pada seseorang yang pernah singgah di hatimu?
Entahlah hanya kau yang bisa menjawab pertanyaan itu.
Dua bulan sudah kita
membina keluarga. Belum ada tanda-tanda kehadiran sang buah hati yang jadi
pelengkap rumahtangga kita. Aku ingin sekali merasakan bagaimana mengandung,
melahirkan, dan merawat anak kita.
Wahai suamiku! Izinkan aku
menjadi Khadijah untukmu. Yang tidak pernah Rasul SAW duakan selama hidupnya,
yang selalu menjadi penyejuk dan sandaran bagi Rasul SAW, yang selalu bersedia
mengorbankan harta demi perjuangan Rasul SAW. Bahkan sampai beliau wafat pun
dia masih mengisi hati Rasul SAW, hingga Siti Aisyah pun cemburu padanya.
Aku ingin seperti Khadijah.
Yang memberikan kenangan indah untukmu. Hingga pada saat Allah SWT memanggilku,
kau akan tetap mengenangku. Meski pun kala itu ada seseorang yang menggantikan
posisiku. Aku ingin melahirkan anak darimu. Benih cinta dan kasih sayang kita
yang diridhoi oleh Allah SWT. Seperti Khadijah memberikan keturunan kepada
Rasul SAW.
Impian dan cita-citaku
untuk anak kita nanti, aku ingin mereka menjadih hafidz/hafidzah Quran. Yang
kelak akan menaikan derajat kita di sisi-Nya. Karena tujuan terakhir hidupku
adalah berjumpa dengan-Nya.
Wahai suamiku tetaplah
bersamaku! Menemaniku dalam suka maupun duka. Sampai suatu saat Allah menjemput
salahsatu dari kita.
Cianjur, 8 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar