Oleh Azizah Noor Qolam
Ponsel di saku celana, tiba-tiba
bergetar. Aku merogohnya, kemudian melihat siapa yang menghubungiku. Ternyata
ada pesan bbm masuk. Ada undangan dari seorang yang tidak dikenal.
“Ona? Siapa? Ah biarin aja! Mungkin
orang iseng,” Aku tak menghiraukannya.
Tak selang beberapa lama, ada pesan
masuk. Dari Ibu Kiki.
Lis,
tidak apa-apa, kalau saya menanyakan sesuatu yang pribadi?
Seketika kakiku gemetar. Bahkan jantung
pun semakin berdetak dengan cepat. Ada perasaan aneh yang menyelinap masuk ke
dalam relung hati. Ada apa ini sebenarnya? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Jariku mulai mengetik pesan balasan.
Oh,
mau tanya masalah apa, Bu?
Send.
Ini
ada yang mau kenalan sama kamu. Boleh? Bu Kiki membalas pesan
bbmku.
Boleh?
Siapa, Bu?
Itu
saudaranya Eva. Lis, boleh add fb Ona Twins.
Belum sempat aku membalas pesan. Tiba-tiba
Eva menelpon melalui bbm. Kuangkat. Dari serbang sana terdengar suara cerewetnya.
Tanpa basa-basi, dia menyururuhku untuk menerima undangan Ona di bbm. Setelah
itu dia menutup telponnya.
Keadaan ini membuat aku bingung
sekaligus heran. Ada apa ini sebenarnya? Apa yang sedang mereka rencanakan.
Apakah ini suatu kebetulan? Dari kemarin Eva selalu menghubungiku. Entah itu
nelpon, ngirim pesan lewat bbm, atau inbox di fb. Dan sekarang Eva dan Bu Kiki
begitu kompak menjodohkan aku dengan pria bernama Ona.
Karena pikiran diliputi berbagai tanda
tanya. Aku lupa tidak membalas bbm Bu Kiki. Lalu menerima undangan Ona. Setelah
berteman. Dia mengirim pesan padaku. Meski belum kenal. Perkenalan aku dengan pria itu pun berlanjut.
***
Aku menatap diriku di depan cermin.
Secepat inikah Tuhan mengirimkan jodoh untukku? Apa ini merupakan ujian
dari-Nya? Untuk membuktikan sebesar apa cintaku pada Sang Pencipta Jagad Raya.
Tak sangka pria itu memiliki niatan mulia. Dia ingin membina rumah tangga,
membangun sebuah keluarga dalam ikatan yang di ridhoi oleh Allah. Seketika berkelebatlah
bayangan-bayangan menyesakkan dada. Bagaimana harus kujelaskan semua rasa ini?
Sebuah rasa trauma dan takut akan kegagalan yang akan berulang kembali. Sudah
cukup aku merasakan sakit dan menderita selama ini. Dan kini aku ingin bahagia
dan tersenyum.
Namun ketika aku ingin memulainya
kembali. Lagi-lagi kenangan itu menyeretku pada luka yang tidak bertepi.
Sedalam apapun memori itu dikubur, tetap saja suatu saat orang-orang dari masa
lalu akan bermunculan kembali, sebagai ujian hidup. Mungkin saat itu aku tak
bisa menghindar. Maka dari itu, keberanian harus mulai dipupuk dari sekarang.
Awal perkenalan, rasa itu memang ada.
Jujur, aku bahagia ada yang datang mengetuk pintu rumah dengan niatan mulia. Yang
menganggu pikiran saat ini, apakah setelah dia mengetahui masa laluku? Dia
masih mau mengenalku. Aku tak mungkin menyembunyikan semua ini darinya. Ia
berhak tau kenyataan sebenarnya. Bahwa diriku pernah melakukan sebuah kesalahan
fatal.
Air mata mengalir deras, tak bisa
dibendung. Menyesali semua kebodohan dan kealfaan saat itu. Aku harus
mengatakan kebenaran ini. Sebelum semua terlambat dan menghancurkan sebuah
kepercayaan. Aku menghapus air mata dengan telapak tangan. Perlahan dua bola
mataku menatap ke sekitar kasur. Mencari ponsel.
Ponsel cantik ber-casing warna ungu, tergeletak di dekat bantal. Lalu aku
mengambilnya. Langsung membuka aplikasi bbm. Ternyata ada beberapa pesan bbm
masuk. Salah satunya pesan dari Ona.
Assalamu’alaikum
Neng, maaf baru bisa ngasih kabar! Kebetulan tadi Kakak Ke Bandung dulu.
Aku tersenyum membaca pesan dari Ona.
Neng, itulah panggilan yang dia berikan padaku. Karena usia diantara kami hanya
terpaut delapan paut. Ia lebih tua dariku. Mudah-mudahan ini adalah waktu
terbaik untuk menjelaskan semuanya. Dengan jari gemetar, aku mulai mengetik
pesan balasan.
Wa’alaikum
salam, oh...nggak apa-apa, Kak. Hmmm, bolehkah Neng menanyakan sesuatu?”
Send.
Tring. Pesan bbm masuk.
Mau
tanya apa?
Apa
yang Kakak tau tentang diriku?
Dadaku mulai sesak. Ya Allah, semoga Kau
memilihkan jalan terbaik untukku.
***
Sebuah ketukan terdengar, aku langsung
berlari ke toko. Di sana sudah ada dua orang pembeli. Bibirku menyunggingkan
senyum termanis.
“Mau beli apa?” tanyaku.
“Neng Ica lagi di sini?” tanya salah
satu pembeli yang aku kenal. Dia bernama Nurhasanah.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab
sepatah kata pun.
“Sudah punya?” tanyanya lagi.
“Belum.” Ujarku singkat. Sambil
menyembunyikan raut wajah sedih.
Kata-kata itu bagai pisau mengiris-ngiris
hati. Sakit, perih, dan pedih sekali terasa. Mereka tak pernah tahu apa yang
sudah terjadi padaku. Sebagian orang sudah mengetahui kisah targis hidupku.
Terkadang kata ejekan dan picingan mata sinis terus menerjang, menambah luka di
dalam lubuk hati.
“Ih,
cantik-cantik kok kayak gitu,”
“Nggak nyangka, ya! Dia kayak gitu,”
Suara-suara ejekan itu, terus masuk
ke gendang telinga. Aku hanya bisa mengelus dada. Sesak sudah pasti. Aneh,
seenaknya saja mereka mengujami caci maki padaku. Seolah mereka tahu segala apa
yang aku alami. Bukankah manusia adalah tempat segala dosa? Tapi kenapa mereka
menghujatku terus menerus? Bagai malaikat yang tak pernah melakukan dosa sama
sekali. Dengan sekuat tenaga, aku menulikan telinga.
Jungkir balik terus berusaha untuk
bangkit dan melupakan semua masa-masa pahit itu. Aku berhak untuk merasakan
kebahagiaan dan pantas untuk merasakan ketenangan. Allah tak pernah memilah dan
memilih ummat-Nya. Pintu pengampunan-Nya selalu terbuka untuk siapa pun yang
bertaubat dengan tulus atas dosa-dosa mereka selama ini. termasuk diriku.
Setiap malam, sujud, doa, dan air mataku tak pernah absen.
Dia ..., hanya Dia yang selalu ada
untukku. tak pernah meninggalkanku walaupun sedetikpun. Maka tak salah jika Dia memiliki sifat berbeda
dengan makhluknya.
Satu tahun ke belakang, kisah pahit itu
di mulai. Kenyataan yang jauh dari bayanganku sama sekali. Belum sempat
mengenyam manisnya hidup berumah tangga. Aku malah harus menelan pil pahit
dengan berakhirnya hubungan itu. Sakit sudah pasti. Wanita mana di dunia ini
yang ingin mengalami hal seperti ini. Aku rasa tidak ada. Apalagi biduk rumah tangga
yang kujalani baru sepuluh bulan.
Aku mengugat cerai Dudi. Selama sepuluh
bulan, kebohongan dan pengkhianatannya selama ini, terbongkar sudah. Lidah
manis itu kini terasa pahit di telinga. Muak aku melihat wajah dengan guratan
penuh kepedulian. Semua itu ternyata hanyalah topeng yang ia gunakan untuk
menutupi semua kebenaran. Hampir saja aku kehilangan akal. Kalau saja Allah
tidak ada di dalam hatiku. Kalau saja aku tidak ingat pada Sang Pencipta Hati.
Mungkin akan menjadi orang tak waras alias gila.
Tidak sampai di situ kesalahannya, masih
banyak hal-hal yang tak terduga. Hutangnya dimana-mana. Wanita mana yang kuat,
baru pertama menikah, disuguhi dengan berbagai persoalan hidup seperti itu. Aku
tak sanggup melawan kata hati yang bertolak belakang dengan tindakan.
Dan pengadilan pun memutuskan aku dan
dia resmi berpisah pada bulan Februari 2015. Sungguh berat, menyandang status
sebagai JANDA. Apalagi usiaku masih muda dan perjalanan hidupku masih panjang. Saat
inilah ujian itu datang menghampiri. Ketika ada seorang pria mengetuk pintu
berniat memperistriku. Kenyataan pahit itu pun harus terkuak.
***
“Kakak tau statusku sekarang,” aku mulai
menceritakan semuanya pada Ona dan Eva,” aku sudah pernah menikah. Namun harus
kandas di tengah jalan.”
“Berapa lama menikahnya?” tanyanya lagi,
nada bicaranya terdengar terkejut.
“Sepuluh bulan,”jawabku singkat.
“Tapi kok kamu belum punya anak?
Padahalkan sepuluh bulan. Kan wanita hamil itu sembilan bulan?”
Bagaimana aku bisa punya anak? Jika
selama berumah tangga, hanya mendapatkan tekanan demi tekanan. Lagi pula aku
selalu berdoa dalam setiap sujud pada-Nya, agar tak diberi keturunan. Tak ingin
melahirkan anak darinya. Tak ingin pula anak yang terlahir dari rahimku menjadi
seorang pendusta agama dan menipu banyak orang. Jelasku dalam hati.
Ona menatapku menanti jawabanku. Aku tak
menjawab, hanya tersenyum getir. Ada sebuah goresan melukai ulu hati. Mungkin
status ini yang membuat pria berpikir dua kali untuk mempersuntingku.
Aku sudah mengikhlaskan semua pada-Nya.
Memang aku pernah melakukan sebuah kesalahan. Tapi takdir Allah pasti yang
terbaik. Aku yakin di balik semua peristiwa ada sebuah rencana indah. Tak usah
risau dan takut.
Pukul setengah dua siang, toko sudah
tutup. Ibu menghampiri kami bertiga dan bergabung.
“Bu, sayang ya! Alis, rumah tangganya cuman
sebentar,”Ujarnya memulai pembicaraan. Dilihat dari raut wajah, dia membutuhkan
penjelasan dari ibu.
Aku menatap ibu, warna mukanya berubah
sedih. Di sudut matanya berair. Hati ini perih. Ibu pasti menderita, ketika ada
yang menanyakan tentang masalah kehidupan pernikahanku yang seumur jagung. Ah,
andai waktu bisa diulang kembali. Pasti aku tak akan melakukan kesalahan itu. Maafkan
aku ibu! Anakmu ini sudah membuat luka dalam hatimu.
“Ya, mungkin sudah takdir Alis seperti
ini, Nak! Meski tidak mau, tapi semuanya harus terjadi juga. Manusia hanya bisa
berencana. Tapi ketentuan ada di tangan-Nya. Iya kan?” jelas Ibu,“Asep dari
mana?”
“Dari Tegal Panjang, Bu.”
“Kerja dimana?” tanya Ibu lagi.
“Kebetulan saya ada kontrak minggu ini
selama delapan bulan di pelayaran. Saya cuman lulusan SMA, Bu.” Akunya
menjelaskan pendidikan akhirnya.
“Mau lulusan sarjana ataupun SMA sama
saja, yang penting kreatif. Kerja apapun nggak apa-apa, asal harta yang didapat
halal.”
Obrolan pun berlanjut antara Ibuku dan
Ona. Fakta yang aku dapat dari pertemuan ini, ternyata Ona itu kembar. Nama
lengkapnya Antona, sedangkan adiknya Antoni. Dia memiliki satu kakak perempuan,
sudah menikah. Dia dan saudara kembarnya sama-sama kerja sebagai TKI.
Tak terasa waktu terus bergulir dengan
cepat sekali. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ona dan Eva pun pamit
untuk pulang.
“Bu, kami ke sini untuk silaturahmi.
Maaf sudah menganggu waktunya! Kami pamit pulang dulu,”Eva beranjak dari tempat
duduknya. Begitu pun dengan Ona. Kemudian mereka berdua menyalami ibu, setelah
itu aku.
***