Kamis, 06 Agustus 2015

Asaku Tenggelam dalam Cinta


Oleh Azizah Noor Qolam

          Namaku Lira, aku cewe supel dan mudah bergaul. Kebanyakan temanku adalah kaum adam. Meskipun begitu, aku bisa menjaga diriku. Lagi pula mereka selalu menjagaku dan  mengganggapku adik mereka sendiri. Aku memiliki cita-cita yang begitu besar. Penulis hebat dan berkualitas. Itulah cita-citaku. Aku banyak menciptakan imajinasi-imajinasi yang aku tulis dalam bait-bait syair yang indah. Aku sangat menyenangi sastra. Bagiku sastra adalah hidupku. Aku bisa berjalan-jalan begitu liarnya dalam imajinasiku. Dari sejak kecil, aku sudah menyukai sastra. Aku senang merangkai kata-kata.
         “Hai! Sedang apa, Lir?” Anita mengagetkanku dan mengacaukan jalan cerita yang aku rangkai dalam imajinasiku.
         “Kamu, Nit. Ngangguin orang aja,” aku memasang wajah cemberut.
         “Abis dari tadi aku ngeliat kamu ngelamun mulu. Nggak baik, Lho. Siang-siang bolong begini ngelamun. Lagi ngelamunian apaan sih? Kayaknya seru banget?”
        “Kamu Kepo banget, deh!”
        “Bagi-bagi dong kalo kamu dapet kebahagiaan. Aku tebak, deh,” telunjuknya ditempelkan di dagu. Ia berpose gaya orang yang sedang berfikir,” Kamu habis ketemu ama Renaldi, ya?”
        “Ih....apaan sih kamu?”
        “Ayo, ngaku?” ia terus memaksaku untuk mengaku.
         Aku tersipu malu. Renaldi yang sangat santun dan ramah pada setiap orang. Apalagi pada orang tua. Baiknya nggak ketulungan. Aku bahagia sekali bisa berjumpa dengan pria yang sebaik dia. berbunga-bunga rasanya hatiku ini. Aku semakin terpikat pada pesonanya. Pesona yang terpancar pada dirinya. Renaldi adalah lulusan universitas ternama di Brazil. Orang tuanya berasal dari Singapura dan Kanada. Tapi keluarganya lebih banyak yang menetap di Indonesia.
...
      “Hai.....”
      “Ups.....,”
      Aku langsung menutup mulutku dengan tangan. Siapa pria ini?
     “Apa kamu baik-baik saja?” Pria itu melambaikan tangannya di depan wajahku. Tepatnya di dekat mataku.
     “Oh...ya, aku baik-baik saja kok! Maaf, aku udah nabrak kamu,” aku langsung menundukkan kepala. Tak sanggup aku menatap mata coklatnya.
     “Nggak apa-apa, kok! Lagian aku juga yang salah. Nggak liat ke depan. Jadinyaaa....kita tabrakan deh,” pria itu tersenym manis.
     Aku hanya membalas senyumannya yang manis itu.
    “Kalo boleh tau namanya siapa?” tanya pria itu padaku.
    “Namaku Lira,”
    “Kalo aku Renaldi. Salam kenal, ya!” pria yang memiliki nama Renaldi itu megulurkan tangan persahabatannya. Aku membalas uluran tangannya sambil malu-malu sekaligus terpesona dengan sorot mata elangnya.
     “Kamu kuliah di jurusan apa?”
     “Aku di jurusan sastra Indonesia. Kalo kamu?”
     “Aku sih di jurusan hukum,”
      “Kamu bakalan jadi pengacara dong?”
       Pria itu menganggukkan kepalanya.
       Mataku melihat ke arah jam tangan yang aku kenakan. Jam menunjukkan pukul 11:00 Wib. Aku terkejut. Hatiku dag dig dug tidak menentu. Aduuuh....aku lupa. Jam sebelas ada jam tambahan dari Pak Abdul. Gimana ini? Wajahku tiba-tiba berubah pias.
     “Lira, kamu kenapa?” Renaldi ternyata dari tadi memperhatikan raut wajahku yang berubah.
    “Hmm...itu....,” aku bingung mau berkata apa,” Aku dulu, ya! Kapan-kapan kita lanjutkan lagi obrolannya. Daaah....” aku pergi dengan tergesa-gesa.
    “Lira...besok aku tunggu di kantin, ya,” Renaldi berteriak.
    Samar ku dengar teriakannya. Aku pun berlalu.
...
            Hari demi hari, kedekatanku dengan Renaldi menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa. Seakan-akan aku adalah artis yang sedang naik daun. Dan Renaldi lah yang mendobrak kepopularitasanku. Pria bermata coklat dan berambut pirang khas orang barat. Tinggi badannya yang setengah melebihi tinggi badanku. Hidungnya yang mancung, kulitnya yang putih. Semua yang ada pada dirinya sangatlah sempurna. Alangkah indah makhluk ciptaan Tuhan ini. Rasa yang ada di dalam hatiku pun tak kalah indahnya.
“Lir, kamu pake ajian apaan sih? Kok kamu bisa dapetin cowo seganteng dia?” Ailinda, cewe tercantik di kampus merasa kepopularitasannya di kampus menurun. Kabar tentang kedekatanku dan Renaldi mengancam keberadaannya di kampus.
“Aku nggak pake ajian apa-apa, kok. Semua terjadi seperti air yang mengalir,” ujarku sekenanya.
“Alah...bohong kamu. Ngaku aja kenapa sih? Aku bisa jaga rahasia kok,” ujarnya dengan gaya yang sok kecantikan.
Heh....kalo lira emang bicara jujur, kenapa harus ngaku? Kan emang dia udah bilang jujur,”
“Eh, upik abu, jangan ikut ngomentar deh. Aku nanyanya ama Lira. Bukan ama kamu,”    
“Mulut kamu nggak bisa ngomong yang sopan, ya? “ Nita sahabatku terpancing emosi.
 Ailinda malah mencibirkan bibirnya ke arah, aku dan Anita.
“Lir, kita tinggalin aja nenek sihir ini. Bicaranya itu kayak pisau. Tajam banget,” Anita menarik tanganku tanpa permisi.
“Pergi saja sana! Aku juga sumpek ngeliat wajah kalian berdua,” Ailinda terpancing emosi. Wajahnya merah padam.
...
Pria dihadapanku ini terlihat begitu tertekan dan lesu. Biasanya wajahnya selalu ceria dan terlihat bahagia. Juga candaan-candaannya selalu ada setiap hari. Namun hari ini? Kemanakah senyumannya, tawanya, gurauanya itu? Hilangkah? Apa yang terjadi dengannya?
“Ren, kamu kenapa?”
Renaldi hanya menggelengkan kepala.
“Kalo nggak kenapa-napa, kok kamu nggak seperti biasanya? Kemana senyumamu itu? Wajah kamu juga terlihat sendu?”
Renaldi masih dengan diam seribu bahasa.
“Ren, kalo ada masalah bilang dong. Kali aja aku bisa bantuin masalah kamu. Kalo kamu diam terus kayak gini. Gimana aku mau ngebantuin kamu?” aku bingung dengan perubahan sikapnya hari ini. Pendiam dan kayak orang yang linglung.
“Gini,Ra. Aku punya tugas yang harus diselesaikan besok. Mana banyak banget,”
“Terus?”
“Hmmm....laptopku kebetulan rusak. Jadi sekarang aku bingung sekali,”
“Oh....itu masalahnya. Kamu pake aja laptop punyaku,”
“Tapi kan laptopnya dipake ama kamu?”
“Besok aku nggak ada tugas kuliah apa-apa. Jadi kamu bisa menggunakannya,”
“Beneran ni, Ra?”
Aku menganggukkan kepala tanda setuju.
“Terima kasih, ya, Ra!” Renaldi memegang tangannya sambil tersenyum bahagia.
Senang rasanya, aku bisa melihat dia seceria ini. Wajahnya kembali berseri. Tak mendung seperti tadi.
...
Aku dan Nita sedang duduk di halaman kampus. Kami duduk dhamparan rumput yang hijau. Sambil membuka buku-buku diktat kuliah.
“Lir, tugas dari pak Surapto udah?”
“Tinggal dikit lagi. Besokkan dikumpulkannya. Kalau kamu gimana? Udah beres?”
“Belum,”
“Lho, kenapa?”
“Rasanya waktu satu hari dua puluh empat jam tak cukup untukku. Boro-boro aku ngerjain tugas. Sekedar untuk istirahat pun, akhir-akhir ini terasa begitu sulit sekali,”
“ Memangnya apalagi yang terjadi?”
“Biasalah. Namanya juga numpang di rumah Tante. Ya mau nggak mau, aku harus menuruti semua perintahnya,”
Aku terenyuh mendengar ceritanya. Ia memang sudah lama tinggal bersama tantenya. Ibunya meninggal karena penyakit kanker rahim yang dideritanya. Dan ayahnya, entah kemana ia pergi begitu saja meninggalkannya seorang diri. Dan kemudian Ia terdampar di keluarga Tante Susan yang gaya hidupnya yang bebas dan semena-mena memperlakukannya.
“Aku akan ngebantuin kamu. Oke. Semangat dong!” aku memegang pundaknya. Dan mengalirkan semangat yang ada dalam diriku padanya.
Dari kejauhan, seorang pria menghampiri kami berdua. Ternyata dia adalah Renaldi. Dengan senyum penuh kegembiraan aku menyambutnya. Namun ketika aku hendak melambaikan tanganku. Aku dikejutkan dengan sesuatu yang tak pernah aku kira sebelumnya.
“Lir, itu kan Ailinda? Kok dia deket banget ama Renaldi,”
Aku sama sekali tak mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut sahabatku itu. Aku berkutat dengan pikiranku. Berjuta pertanyaan datang silih berganti. Hingga benang kusut yang tak menemukan jawabannya.
Renaldi dan Ailinda menghampiri kami. Aku masih mematung ditempatku. Apa ini sebenarnya? Apa yang telah terjadi?
“Lir, ini laptopmu aku kembalikan,” Renaldi menyerahkan laptop padaku. Di sampingnya Ailinda menggandeng tangannya dengan mesra.
“Ren, dia....?” aku pun tersadar dari lamunanku
“Kita putus, ya. Tujuanku udah terlaksana,”
“Maksudmu?”
“Kamu jangan banyak tanya, deh. Udah terima aja kenyataan. Siapa juga laki-laki yang mau ama kamu? Iya kan, Ren,”
“ Iya,” ujar Renaldi.
Ucapan Renaldi bagai pisau yang menyayat tipis-tipis hatiku. Pedih, perih, dan sakit. Aku masih bingung dengan semua ini. Satu pertanyaan dipikiranku muncul. Apa tujuan yang ia maksudkan?
“Sudah, ya. Kami mau pergi dulu. Daaaah...” Ailinda mengapit tangan Renaldi. Mereka pergi meninggalkan aku dengan tanda tanya besar yang ada dibenakku.
“Lir....Lira....” Anita mengguncang-guncang tubuhku.
“Eh....ada apa Nit?”
“Kamu nggak apa-apa kan?”
Aku diam tak menjawab. Entah bagaimana perasaanku saat ini. Tak bisa ku lukiskan dengan kata-kata atau pun denga benti gambar.
“Kita Ke kelas, yu,” Anita mengajakku. Ia membawa laptop dan bukuku. Dia tahu kalau keadaan sahabatnya saat ini sedang tidak bersahabat. Ia membantuku bangun dari dudukku. Dengan penuh kasih sayang ia mengapit tanganku.
...
“ Hai teman-teman. Lihat ini,” Heri mengacung-acungkan sebuah buku novel.
“ Ada apa sih, Her?” tak perlu waktu lama. Seketika itu juga ia sudah dikerumuni para penghuni kelas sastra semester 5.
Mereka membaca buku yang ada di tangan Heri. Mereka tak pernah menyangka siapa yang menulis novel itu. Seseorang yang bukan dari fakultas sastra mana pun. 
Dengan hati yang pecah bagai pecahan kaca yang berserakan. Hati yang luluh lantah. Namun melihat keramaian yang ada di kelasnya. Sejenak rasa sakit itu hilang.
“Hai...ada apa ini ramai-ramai?” Anita menerobos ke tengah-tengah kerumunan. “ Novel apa itu Her?”
“Kamu pasti terkejut. Kalau tau siapa yang menulis novel ini,”
“Siapa memangnya?” Anita berusaha mengambil novel itu dari tangan-tangan yang ingin melihat novel itu.
“Renaldi...” ujar Heri
“Apa?! Renaldi?” Anita terkejut.
“ Benarkan dugaanku. Kamu pasti terkejut,”
Anita langsung mendekati yang mematung. Apa yang aku dengar, bagai gelegar petir yang menyambar-nyambar.
“Lir, aku tak percaya kalau laki-laki playboy itu bisa bikin novel,”
“Apalagi aku?” aku tak mampu menahan bulir-bulir air yang berjatuhan dari mataku.
“Coba kamu buka laptopmu, Lir,”
Aku membuka laptopku tanpa semangat. Mimpiku bagai melayang-layang di udara. Ketika aku sudah membuka laptopku. Lengkaplah sudah. Mimpiku pun dibawa terbang oleh angin topan. Data-data penting yang ada di laptopku. Hilang tak bersisa. Tiba-tiba kepalaku pusing. Mimpiku...oh...mimpiku....bagai tenggelam dikedalaman samudra yang paling dalam.













Rabu, 05 Agustus 2015

KAU



Oleh Azizah Noor Qolam
 
Kala malam bayanganmu selalu datang dalam imajinasiku. Kau hiasi dengan tarian-tarianmu yang lemah gemulai. Kau goreskan dalam ingatanku seulas senyum yang tak bisa aku lupakan. Kau terlalu indah untuk dilupakan. Karena kau penghuni dalam jiwaku. Setiap hembusan nafasku, dan debar jantungku. Ah...andai saja waktu bisa ku putar kembali. Aku ingin bersamamu.
“ Dil, Kamu marah, ya?” Indra menjajari langkahku dengan sepeda motornya.
Aku hanya memasang wajah super cemberut. Sebel dari tadi aku menunggunya. Eh....dia malah mau pergi keundangan pernikahan temannya.
“ Maafin aku, dong. Aku janji nggak bakalan mengulanginya lagi,”
Aku masih dengan raut wajah yang sama. Cemberut. Namun ia tetap berjuang untuk bisa mendapatkan kata maaf dariku. Tak pernah aku menemukan pria seperti ini. Ia rela pulang-pergi Bandung-Garut hanya untuk bertemu denganku. Aku pun luluh melihat perjuangannya....
“ Kamu mau beli apa?”
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Aku hanya fokus pada aksesoris yang akan aku beli. Biasalah usaha kecil-kecilan. Karena melihatku sibuk memulah dan memilih aksesoris. Akhirnya ia pergi ke pedagang buah-buahan. Entah apa yang ia beli?
“ Mba, yang ini setengah losin, yang ini satu losin, dan yang ini dua losin,”
Penjual aksesoris langsung mengambil barang yang aku maksud dan membuatkan nota harganya. Tak lama kemu dia Indra pun datang membawa satu kilo buah mangga.
Dia yang perhatian, dia yang baik, dia yang penyabar, dia yang penyayang, dia yang sopan, dan kini dia hilang ditelan kenangan.

Tembok pemisah



Oleh Azizah Noor Qolam

Kisah-kisah kita
Menari-nari dalam ingatanku
Wajahmu yang bercahaya, bak matahari
Teduh seperti pohon yang rindang
Sejuk seperti telaga Al-Kautsar

Tapi.....
Wajahmu itu hilang tuk selamanya
Hilang bersama buku catatanmu
Bersama takdir kita

Tembok itu telah membuat jarak antara kita
Jarak yang terbentang sangat jauh
Dukamu, dukaku
Sukamu, sukaku
Laramu, laraku

Dan bahagiamu, bahagiaku
Berjuta cara ku lakukan
Meski tembok itu ada diantara kita
Namun rasaku bermekaran
 Merekah seperti mawar yang merah
Tak bisa aku menghentikan rasa
Yang menyebar bagai virus
Kapankah tembok itu tak menghalangi kita?
Dan kita bisa bersama
Selamanya.....

Garut, 01 Mei 2015